Mental Health
Mental Health
Hai perkenalkan nama ku Agnes Rajagukguk, aku berasal dari
Sumatera Utara tepatnya kota Pematangsiantar. Aku dari prodi Agribisnis,
fakultas pertanian Universitas Brawijaya PSDKU Kediri. Blog ini merupakan
penugasan dari Raja Brawijaya 2020 untuk motivation letter.
Sehat sering kali
dipersepsikan dari segi fisik saja. Padahal sehat juga berarti tentang
kesehatan jiwa. Sayangnya, persoalan kesehatan jiwa masih dianggap kalah
penting dibandingkan kesehatan fisik. Padahal saat ini sudah ada asuransi
kesehatan yang menawarkan perlindungan terkait kesehatan mental.
WHO menyebutkan, anak
muda alias generasi milenial saat ini lebih rentan terkena gangguan mental.
Terlebih masa muda merupakan waktu di mana banyak perubahan dan penyesuaian
terjadi baik secara psikologis, emosional, maupun finansial. Misalnya upaya
untuk lulus kuliah, mencari pekerjaan, atau mulai menyicil rumah.
Selain perubahan
hidup, teknologi juga turut berkontribusi terhadap kesehatan mental generasi
muda. Salah satunya adalah penggunaan media sosial. Media sosial seakan
menciptakan gaya hidup ideal yang sebenarnya tidak seindah kenyataan. Hal
inilah yang menciptakan tekanan dan beban pikiran pada generasi muda.
Anak
Muda Lebih Rentan Alami Gangguan Mental
Gangguan mental,
karena gejalanya tidak seperti penyakit fisik, acapkali terlambat disadari.
Padahal di Indonesia, jumlah penderitanya terbilang tidak sedikit.
1.
Setengah dari penyakit mental bermula
sejak remaja, yakni di usia 14 tahun. Menurut WHO, banyak kasus yang tidak
tertangani sehingga bunuh diri akibat depresi menjadi penyebab kematian
tertinggi pada anak muda usia 15-29 tahun.
2.
Merujuk data hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2018, prevalensi penderita skizofrenia atau psikosis sebesar
7 per 1000 dengan cakupan pengobatan 84,9%. Sementara itu, prevalensi gangguan
mental emosional pada remaja berumur lebih dari 15 tahun sebesar 9,8%. Angka
ini meningkat dibandingkan tahun 2013 yaitu sebesar 6%.
3.
Masih berdasarkan data Kementerian
Kesehatan Indonesia, masyarakat perkotaan lebih rentan terkena depresi,
alkoholisme, gangguan bipolar, skizofrenia, dan obsesif
kompulsif. Meningkatnya jumlah pasien gangguan jiwa di Indonesia dan di
seluruh dunia disebabkan oleh pesatnya pertumbuhan hidup manusia, serta
meningkatnya beban hidup, terutama yang dialami oleh masyarakat urban.
Namun jika
dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia patut berbangga. Pasalnya
tingkat stres masyarakat Indonesia ternyata tidak setinggi negara lain. Fakta
ini berdasarkan Survei Skor Kesejahteraan 360° tahun 2018 yang diselenggarakan
Cigna.
Berdasarkan survei
tersebut, sebanyak 86% responden dari seluruh negara yang turut berpartisipasi
mengatakan bahwa mereka merasa stres. Namun di Indonesia, responden yang
mengatakan bahwa mereka merasa stres ‘hanya’ sebesar 75%.
Jika dibuat
perbandingan, ada 3 dari 4 responden yang merasa stres. Meski persentase
tersebut terkesan tinggi, tingkat stres ini merupakan tingkat stres terendah
dari seluruh negara yang disurvei. Persoalan keuangan dan pekerjaan
merupakan penyebab stres yang utama.
Sedangkan 25% sisanya
mengatakan bahwa mereka sama sekali tidak merasa stres. Persentase ini
merupakan yang terendah dibandingkan 22 negara lainnya. Di negara tetangga
seperti Singapura dan Thailand, tingkat stres masyarakatnya bahkan berada di
atas rata-rata, yaitu sebesar 91%.
https://www.cigna.co.id/health-wellness/anak-muda-dan-kesehatan-mental
Menjaga Kesehatan Mental
Saat Pandemi Virus Corona
Pandemi virus Corona tidak hanya mengancam kesehatan fisik,
namun juga kesehatan mental setiap individu. Tidak hanya rasa takut, efek
psikologis yang ditimbulkan pun bisa berdampak serius. Apa saja gangguan
kesehatan mental yang dapat muncul dan bagaimana cara mengatasinya?
Wabah infeksi virus Corona atau COVID-19 semakin
meluas dan telah menjangkit lebih dari 190 negara, termasuk Indonesia. Di
Indonesia sendiri, jumlah pasien positif COVID-19 bertambah dengan cepat.
Hal tersebut tentu dapat menimbulkan rasa takut dan panik.
Apalagi anjuran untuk diam di rumah serta kebijakan social distancing, yang kini disebut physical
distancing, sedikit banyak menimbulkan jarak secara emosional antara
keluarga, sahabat, rekan kerja, teman, atau umat persekutuan di tempat ibadah
yang dapat saling memberi dukungan.
Bagi sebagian orang, hal ini bisa dirasakan sebagai suatu
tekanan atau beban yang sangat besar. Bila tidak dikendalikan, tekanan tersebut
akan berdampak negatif pada kesehatan mental.
Gangguan Kesehatan
Mental Saat Pandemi Virus Corona
Gangguan kesehatan mental yang terjadi selama pandemi dapat disebabkan oleh
berbagai hal, seperti ketakutan terhadap wabah, rasa terasing selama menjalani
karantina, kesedihan dan kesepian karena jauh dari keluarga atau orang yang
dikasihi, kecemasan akan kebutuhan hidup sehari-hari, ditambah lagi kebingungan
akibat informasi yang simpang siur.
Hal-hal tersebut tidak hanya berdampak pada orang yang telah
memiliki masalah kesehatan mental, seperti depresi atau gangguan kecemasan umum, namun juga dapat memengaruhi orang yang sehat secara fisik dan
mental.
Beberapa kelompok yang rentan mengalami stres psikologis selama
pandemi virus Corona adalah anak-anak, lansia, dan petugas medis. Tekanan yang
berlangsung selama pandemi ini dapat menyebabkan gangguan berupa:
- Ketakutan dan
kecemasan yang berlebihan akan keselamatan diri sendiri maupun orang-orang
terdekat
- Perubahan pola
tidur dan pola makan
- Bosan dan stres
karena terus-menerus berada di rumah, terutama pada anak-anak
- Sulit
berkonsentrasi
- Penyalahgunaan
alkohol dan obat-obatan
- Memburuknya
kesehatan fisik, terutama pada penderita penyakit kronis, seperti diabetes
dan hipertensi
- Munculnya
gangguan psikosomatis
Tips Menjaga
Kesehatan Mental Selama Pandemi Virus Corona
Berikut ini adalah beberapa hal yang dapat Anda lakukan untuk
menjaga kesehatan mental selama pandemi virus Corona:
1. Melakukan
aktivitas fisik
Berbagai olahraga ringan, seperti lari kecil atau lompat di
tempat, dapat Anda lakukan selama menjalani karantina di rumah. Dengan
melakukan aktivitas fisik, tubuh Anda akan memproduksi hormon endorfin yang dapat meredakan stres, mengurangi rasa
khawatir, dan memperbaiki mood Anda.
Latihan peregangan dan pernapasan juga dapat membantu Anda untuk
menenangkan diri. Jangan lupa untuk berjemur di bawah sinar matahari pagi
untuk meningkatkan sistem imun.
2. Mengonsumsi
makanan bergizi
Konsumsilah makanan yang mengandung protein, lemak sehat,
karbohidrat, vitamin, mineral, dan serat. Beragam nutrisi tersebut dapat Anda
peroleh dari nasi dan cereal, buah-buahan, sayuran, makanan
laut, daging, kacang-kacangan, serta susu.
Bukan hanya untuk menjaga kesehatan tubuh Anda, asupan nutrisi
yang cukup juga dapat menjaga kesehatan mental Anda, baik secara langsung
maupun tidak langsung.
3. Menghentikan
kebiasaan buruk
Bila Anda seorang perokok, cobalah hentikan kebiasaan buruk
tersebut mulai dari sekarang. Merokok akan meningkatkan risiko Anda terinfeksi
kuman penyakit, termasuk virus Corona. Selain itu, batasi juga konsumsi minuman
beralkohol.
Kebiasaan merokok dan mengonsumsi minuman beralkohol dapat
mengganggu kesehatan fisik maupun mental Anda.
Kebiasaan buruk yang juga perlu dihentikan adalah kurang
beristirahat atau sering begadang. Jika kurang istirahat, Anda akan lebih mudah
mengalami kecemasan dan mood Anda
pun akan lebih tidak stabil.
4. Membuat
rutinitas sendiri
Selama menjalani karantina di rumah, Anda bisa melakukan hobi
atau aktivitas yang Anda sukai, misalnya memasak, membaca buku, atau menonton
film. Selain meningkatkan produktivitas, kegiatan tersebut juga dapat
menghilangkan rasa jenuh.
5. Lebih bijak
memilah informasi
Batasi waktu Anda untuk menonton, membaca, atau mendengar berita
mengenai pandemi, baik dari televisi, media cetak, maupun media sosial untuk
mengurangi rasa cemas.
Meski begitu, jangan menutup diri sepenuhnya dari informasi yang
penting. Pilah informasi yang Anda terima secara kritis dan bijak. Dapatkan
informasi mengenai pandemi virus Corona hanya dari sumber yang terpercaya.
6. Menjaga
komunikasi dengan keluarga dan sahabat
Luangkan waktu untuk berkomunikasi dengan keluarga, sahabat,
teman, dan rekan kerja Anda, baik melalui pesan singkat, telepon, atau video
call. Anda bisa menceritakan kekhawatiran dan kecemasan yang Anda
rasakan. Dengan cara ini, tekanan yang Anda rasakan dapat berkurang sehingga
Anda bisa lebih tenang.
Bila Anda memang memiliki gangguan mental, konsumsilah obat-obatan yang telah diresepkan dokter
secara rutin. Bila perlu, periksakan diri Anda ke dokter secara berkala agar
dokter dapat memantau perkembangan kondisi Anda.
Rasa takut dan cemas memang normal dirasakan selama masa pandemi
seperti ini. Namun, cobalah untuk selalu berpikir positif dan bersyukur. Jika
stres dan ketakutan yang Anda alami terasa sangat berat, jangan ragu
berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater melalui fitur chat dengan
dokter di aplikasi Alodokter.
Ditulis oleh:
dr. Andi Marsa Nadhira
https://www.alodokter.com/menjaga-kesehatan-mental-saat-pandemi-virus-corona
7. Pelatihan bagi guru BK
Beruntung pada tahun 2016 lalu
sudah ada pelatihan yang diberikan bagi guru BK oleh Dinas Pendidikan dan Dinas
Kesehatan, bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan, tentang menangani remaja
yang mengalami masalah kesehatan mental. Menurut Ali, beberapa tahun belakangan
pun makin banyak siswa yang mendatanginya untuk sekadar berkonsultasi atau
curhat.
Pelatihan bagi guru BK sudah
menjadi program yang dicanangkan oleh Kementerian Kesehatan sejak beberapa tahun
lalu. Fidiansyah menyebut targetnya adalah agar semua guru BK mampu mengatasi
gangguan kecemasan dan gejala depresi ringan yang dialami oleh para siswanya.
Meski demikian, masih belum ada
data pasti berapa jumlah sekolah dan guru BK yang mendapat pelatihan tersebut.
Kementerian Kesehatan menyebut pihaknya tidak bisa memberi target, yang penting
semua provinsi sudah dilatih.
Pesan
dari aku pribadi, segala sesuatu masalah-masalah kita pasti ada solusinya.
Tuhan memberikan pencobaan kepada kita tidak melebihi batas kemampuan kita.
Mental illness adalah hal yang tren bagi generasi Z sekarang ini, banyak
artis-artis mengangkat topik ini untuk konten mereka, seperti untuk lagu,
podcast di YouTube. Mental illness tidak kurang agama, mereka hanyu butuh waktu
untuk sendiri dan dukungan dari luar dan terutama solusi atas masalah-masalah
mereka. Mereka butuh orang yang mau merangkul diri mereka sendiri. Pergi ke
psikolog tidak lah salah, namun bagi warga negara Indonesia, itu dianggap tidak
llumrah dan tidak banyak yang mengatakan mereka yang pergi ke psikolog adalah
orang gila. Cobalah tidak mendengarkan perkataan orang lain, sakit fisik ada
obatnya, tapi sakit mental tidak ada obat yang jelas dan pasti. Tetap semangat
#loveyourself
#Adhikara58
#MabaUB2020
#RAJABrawijaya2020
#KitaSatuBrawijaya
#KreasiNyataBrawijayans
Komentar
Posting Komentar